HOMESCHOOLING:
SEBUAH PENDIDIKAN ALTERNATIF
Oleh Pormadi Simbolon, SS
Pengantar
Setiap
orang tua menghendaki anak-anaknya mendapat pendidikan bermutu,
nilai-nilai iman dan moral yang tertanam baik, dan suasana belajar anak
yang menyenangkan. Kerapkali hal-hal tersebut tidak ditemukan para
orangtua di sekolah umum. Oleh karena itu muncullah ide orangtua untuk
“menyekolahkan” anak-anaknya di rumah. Dalam perkembangannya, berdirilah
lembaga sekolah yang disebut sekolah-rumah (homeschooling) atau dikenal
juga dengan istilah sekolah mandiri, atau home education atau home based learning.
Latar Belakang
Banyaknya
orangtua yang tidak puas dengan hasil sekolah formal mendorong orangtua
mendidik anaknya di rumah. Kerapkali sekolah formal berorientasi pada
nilai rapor (kepentingan sekolah), bukannya mengedepankan keterampilan
hidup dan bersosial (nilai-nilai iman dan moral). Di sekolah, banyak
murid mengejar nilai rapor dengan mencontek atau membeli ijazah palsu.
Selain itu, perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan.
Ditambah lagi, identitas anak distigmatisasi dan ditentukan oleh
teman-temannya yang lebih pintar, lebih unggul atau lebih “cerdas”.
Keadaan demikian menambah suasana sekolah menjadi tidak menyenangkan.
Ketidakpuasan tersebut semakin memicu orangtua memilih mendidik anak-anaknya di rumah, dengan resiko menyediakan banyak waktu dan tenaga. Homeschooling menjadi tempat harapan orang tua untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak, mengembangkan nilai-nilai iman/ agama dan moral serta mendapatkan suasana belajar yang menyenangkan.
Homeschooling
Istilah
Homeschooling sendiri berasal dari bahasa Inggris berarti sekolah
rumah. Homeschooling berakar dan bertumbuh di Amerika Serikat.
Homeschooling dikenal juga dengan sebutan home education, home based learning
atau sekolah mandiri. Pengertian umum homeschooling adalah model
pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab
sendiri atas pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basis
pendidikannya. Memilih untuk bertanggungjawab berarti orangtua terlibat
langsung menentukan proses penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah
dan tujuan pendidikan, nilai-nilai yang hendak dikembangkan, kecerdasan
dan keterampilan, kurikulum dan materi, serta metode dan praktek belajar
(bdk. Sumardiono, 2007:4).
Peran dan
komitmen total orangtua sangat dituntut. Selain pemilihan materi dan
standar pendidikan sekolah rumah, mereka juga harus melaksanakan ujian
bagi anak-anaknya untuk mendapatkan sertifikat, dengan tujuan agar dapat
melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Banyak orang tua
Indonesia yang mempraktekkan homeschooling mengambil materi pelajaran,
bahan ujian dan sertifikat sekolah rumah dari Amerika Serikat.
Sertifikat dari negeri paman Sam itu diakui di Indonesia (Departemen
Pendidikan Nasional) sebagai lulusan sekolah Luar Negeri (Kompas,
13/3/2005).
Dalam Pendidikan Nasional
Departemen
Pendidikan Nasional menyebut sekolah-rumah dalam pengertian pendidikan
homeschooling. Jalur sekolah-rumah ini dikategorikan sebagai jalur
pendidikan informal yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan
(pasal 1 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional – Sisidiknas No.
20/2003). Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Meskipun
pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan pendidikan
informal, namun hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan
formal (sekolah umum) dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian
sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27 ayat 2).
Dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Juga dijelaskan sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (pasal 1).
Berdasarkan
definisi pendidikan dan sistem pendidikan nasional tersebut, sekolah
rumah menjadi bagian dari usaha pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sejarah Singkat
Filosofi
berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar
dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar.
Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha
menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam
bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosofi
tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas
mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan
pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis
pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah,
tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada
waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an,
Ray dan Dorothy Moor melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang
tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education).
Penelitian mereka menunjukkan bahwa memasukkan anak-anak pada sekolah
formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi
sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak
laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007: 21).
Setelah
pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas,
Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976).
Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orangtua homeschooling
di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan
majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa
dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan
konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus
berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs) , pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Di Indonesia
Perkembangan
homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum
ada penelitian khusus tetang akar perkembangannya. Istilah homeschooling
merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun jika dilihat dari
konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di
sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan
hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktekkan
homeschooling seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka
(Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam
pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di
Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya Wanti, seorang ibu yang
tidak puas dengan sistem pendidikan formal. Melihat risiko yang menurut
Wanti sangat mahal harganya, dia banting setir. Tahun 1992 Wanti
mengeluarkan semua anaknya dari sekolah dan memutuskan mengajar sendiri
anak-anaknya di rumah. Ia mempersiapkan diri selama 2 tahun sebelum
menyekolahkan anaknya di rumah. Semua kurikulum dan bahan ajar diimpor
dari Amerika Serikat.Wanti sadar keputusannya mengandung konsekuensi
berat. Dia harus mau capek belajar lagi, karena bersekolah di rumah
berarti bukan anaknya saja yang belajar, tetapi justru orangtua yang
harus banyak belajar.
Demikian
juga Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan
bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti
seminar tentang hal ini. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil
keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga
kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,”
kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah tahun 2000 (Kompas,
13/3/2005).
Di Indonesia
baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschoooling, seperti
Morning Star Academy dan lembaga pemerintah berupa Pusat Kegiatan
Belajar Mengajar (PKBM).
Morning Star
Academy, Lembaga pendidikan Kristen ini berdiri sejak tahun 2002 dengan
tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga
membentuk karakter siswanya.
Pusat
Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) merupakan program pemerintah dalam
menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggara PKBM
sudah ada ratusan di Indonesia. Di Jakarta Selatan aja, ada sekitar 25
lembaga penyelenggara PKBM dengan jumlah siswa lebih kurang 100 orang.
Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (untuk setingkat SD), B
(setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya
menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya,
tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian
guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya. Perbedaan Ijazah dengan sekolah umum, PKBM langsung
mengeluarkannya dari pusat.
Saat ini,
perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki
semakin banyak pilihan untuk pendidikan anak-anaknya.
Faktor-Faktor Pemicu dan Pendukung Homechooling
-
Kegagalan sekolah formal
Baik
di Amerika Serikat maupun di Indonesia, kegagalan sekolah formal dalam
menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik menjadi pemicu bagi
keluarga-keluarga di Indonesia maupun di mancanegara untuk
menyelenggarakan homeschooling. Sekolah rumah ini dinilai dapat
menghasilkan didikan bermutu.
-
Teori Inteligensi ganda
Salah satu teori pendidikan yang berpengaruh dalam perkembangan homeschooling adalah Teori Inteligensi Ganda (Multiple Intelligences) dalam buku Frames of Minds: The Theory of Multiple Intelligences (1983) yang
digagas oleh Howard Gardner. Gardner menggagas teori inteligensi ganda.
Pada awalnya, dia menemukan distingsi 7 jenis inteligensi (kecerdasan)
manusia. Kemudian, pada tahun 1999, ia menambahkan 2 jenis inteligensi
baru sehingga menjadi 9 jenis inteligensi manusia. Jenis-jenis
inteligensi tersebut adalah:Inteligensi linguistik; Inteligensi
matematis-logis; Inteligensi ruang-visual; Inteligensi
kinestetik-badani; Inteligensi musikal; Inteligensi interpersonal;
Inteligensi intrapersonal; Inteligensi ligkungan; dan Inteligensi
eksistensial.
Teori
Gardner ini memicu para orang tua untuk mengembangkan potensi-potensi
inteligensi yang dimiliki anak. Kerapkali sekolah formal tidak mampu
mengembangkan inteligensi anak, sebab sistem sekolah formal sering kali
malahan memasung inteligensi anak.
(Buku
acuan yang dapat digunakan mengenai teori inteligensi ganda ini dalam
bahasa Indonesia ini, Teori Inteligensi Ganda, oleh Paul Suparno,
Kanisius: 2003).
-
Sosok homeschooling terkenal
Banyaknya
tokoh-tokoh penting dunia yang bisa berhasil dalam hidupnya tanpa
menjalani sekolah formal juga memicu munculnya homeschooling. Sebut
saja, Benyamin Franklin, Thomas Alfa Edison, KH. Agus Salim, Ki Hajar
Dewantara dan tokoh-tokoh lainnya.
Benyamin
Franklin misalnya, ia berhasil menjadi seorang negarawan, ilmuwan,
penemu, pemimpin sipil dan pelayan publik bukan karena belajar di
sekolah formal. Franklin hanya menjalani dua tahun mengikuti sekolah
karena orang tua tak mampu membayar biaya pendidikan. Selebihnya, ia
belajar tentang hidup dan berbagai hal dari waktu ke waktu di rumah dan
tempat lainnya yang bisa ia jadikan sebagai tempat belajar.
-
Tersedianya aneka sarana
Dewasa
ini, perkembangan homeschooling ikut dipicu oleh fasilitas yang
berkembang di dunia nyata. Fasilitas itu antara lain fasilitas
pendidikan (perpustakaan, museum, lembaga penelitian), fasilitas umum
(taman, stasiun, jalan raya), fasilitas sosial (taman, panti asuhan,
rumah sakit), fasilitas bisnis (mall, pameran, restoran, pabrik, sawah,
perkebunan), dan fasilitas teknologi dan informasi (internet dan
audivisual).
Homeschooling vs Sekolah Umum
Model
pendidikan yang paling terkenal dan diakui masyarakat adalah sistem
sekolah atau pendidikan formal baik yang diselenggarakan pemerintah
maupun swasta. Sekolah umum seringkali dipandang sebagian orang lebih
valid dan disukai.
Namun bagi
sebagian orang, sistem sekolah umum merupakan sekolah yang tidak
memuaskan bagi perkembangan diri anak. Sekolah umum menjadi kambing
hitam atas output yang dikeluarkannya. Hal ini terlihat dari output
pendidikan formal banyak menjadi koruptor, pelaku mafia peradilan,
politisi pembohong, dan penipu kelas kakap. Alasan kekecewaan itulah
memicu keluarga-keluarga memilih sekolah rumah alias homeschooling
sebagai pendidikan alternatif.
Pada
hakekatnya, baik homeschooling maupun sekolah umum, sama-sama sebagai
sebuah sarana untuk menghantarkan anak-anak mencapai tujuan pendidikan
seperti yang diharapkan. Namun homeschooling dan sekolah memiliki
perbedaan.
Pada sistem
sekolah, tanggung jawab pendidikan anak didelegasikan orang tua kepada
guru dan pengelola sekolah. Pada homeschooling, tanggung jawab
pendidikan anak sepenuhnya berada di tangan orang tua.
Sistem di
sekolah terstandardisasi untuk memenuhi kebutuhan anak secara umum,
sementara sistem pada homeschooling disesuaikan dengan kebutuhan anak
dan kondisi keluarga.
Pada
sekolah, jadwal belajar telah ditentukan dan seragam untuk seluruh
siswa. Pada homeschooling jadwal belajar fleksibel, tergantung pada
kesepakatan antara anak dan orang tua.
Pengelolaan di sekolah
terpusat, seperti pengaturan dan penentuan kurikulum dan materi ajar.
Pengelolaan pada homeschooling terdesentralisasi pada keinginan keluarga
homeschooling. Kurikulum dan materi ajar dipilih dan ditentukan oleh
orang tua.
Kelebihan dan Kekurangan Homeschooling
Dari perbedaan di atas, kita dapat menyebutkan kelebihan homeschooling, antara lain: adaptable, artinya sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga; mandiri artinya lebih memberikan peluang kemandirian dan kreativitas individual yang tidak didapatkan di sekolah umum; potensi yang maksimal, dapat memaksimalkan potensi anak, tanpa harus mengikuti standar waktu yang ditetapkan sekolah; siap terjun pada dunia nyata. Output sekolah
rumah lebih siap terjun pada dunia nyata karena proses pembelajarannya
berdasarkan kegiatan sehari-hari yang ada di sekitarnya; terlindung dari pergaulan menyimpang. Ada
kesesuaian pertumbuhan anak dengan dengan keluarga. Relatif terlindung
dari hamparan nilai dan pergaulan yang menyimpang (tawuran, narkoba,
konsumerisme, pornografi, mencontek dan sebagainya); Ekonomis, biaya pendidikan dapat menyesuaikan dengan kondisi keuangan keluarga.
Di
sisi lain, homeschooling mempunyai kelemahan-kelemahan yang dapat
disebutkan berikut ini: membutuhkan komitmen dan tanggung jawab tinggi
dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi karena orangtua
harus bertanggung jawab atas keseluruhan proses pendidikan anak;
keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sebaya relatif
rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi
dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan
efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi dan masalah sosial
yang kompleks yang tidak terprediksi.
Penutup
Homeschooling
merupakan sebuah pilihan dan khazanah alternatif pendidikan bagi orang
tua dalam meningkatkan mutu pendidikan, mengembangkan nilai iman
(agama), dan menginginkan suasana belajar yang lebih menyenangkan. Di
sisi lain, ada sekolah umum yang memberikan bahan ajar dan kurikulum
secara terpusat dan seragam, sesuai dengan harapan dan kebutuhan anak.
Baik homeschooling maupun sekolah umum (pendidikan formal) sama-sama
mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menghantarkan peserta didik
mencapai tujuan pendidikan. Soal pilihan atas keduanya, semua diserahkan
pada orangtua dan keluarga sesuai dengan kondisi keluarga.
Penulis adalah pemerhati pendidikan anak, tinggal di Jakarta.
REFERENSI:
Kompas Cyber Media, 29 Agustus 2005: “Home Schooling” Model Pendidikan Alternatif
Sarie Febriane/ Clara Wresti, Rumah Kelasku, Dunia Sekolahku, Harian Kompas, 13 Maret 2005
Yorgi Gusman, Ikutan Home Schooling, 08 September 2006
Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda, Kanisius: Yogyakarta, 2003
Sumardiono, Homeschooling, Lompatan Cara Belajar, PT. Elex Media Komputindo: Jakarta, 2007
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Fokusmedia, Bandung 2003